Home » , » Bumi Memasuki Zona Iklim Aneh

Bumi Memasuki Zona Iklim Aneh

suarapembaruan.com Pernahkah Anda merasakan perubahan cuaca yang ekstrem dalam beberapa hari belakangan ?

Kalau Anda sehari-hari berada di dalam ruangan AC, pasti tidak terlalu merasakan perubahan iklim yang terjadi. Tetapi bagi mereka yang sering beraktivitas di luar ruangan, perubahan cuaca ekstrem sangat terasa. Di Indonesia, bulan Mei adalah saat-saat awal memasuki musim panas. Tetapi di mana-mana masih terjadi banjir bandang dan longsor.

Di Jakarta lebih aneh lagi. Dalam beberapa hari  terakhir, sinar matahari terasa lebih panas dari biasanya. Tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras, membuat jalan-jalan Jakarta banjir. Kemudian  panas lagi, mendung, hujan gerimis, panas lagi, dan seterusnya. Saat ini, dunia atau bumi yang kita pijak ini memasuki zona bahaya baru dengan tingkat pemanasan global yang mencapai titik yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi. Sementara, perjanjian dunia mengenai perubahan iklim berjalan lambat. 

“Saat melampaui ambang batas karbon dioksida yakni 400 ppm pekan lalu, dunia telah melewati  sebuah batas bersejarah dan memasuki zona bahaya baru,” kata Christiana Figueres, Kepala Sekretariat Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (13/5). 

Tingkat  itu diukur dengan sistem pemantau Amerika Serikat (AS), yang belum ada di bumi tiga atau lima juta tahun,  saat temperatur bumi beberapa derajat lebih hangat dan permukaan air laut masih 20 hingga 40 meter lebih tinggi dibanding hari ini, kata para pengamat.

Sebelum revolusi industri, saat manusia pertama kali memompakan karbon ke atmosfer dengan membakar bahan bakar fosil, tingkat CO2 masih sekitar 280 ppm, dan itu  terus meningkat sejak pencatatan dimulai pada tahun 1950-an.  400 ppm adalah batas simbolik yang memang diperkirakan akan terlampaui, namun para aktivis lingkungan mengatakan bahwa itu adalah sebuah peringatan dalam upaya untuk mengekang emisi rumah kaca melalui penggunaan bahan bakar fosil.

“Dunia harus tersadar dan mencatat apa artinya ini bagi keselamatan dan kesejahteraan manusia serta perkembangan ekonomi,” kata Figueres, yang mengwasi perundingan global yang bertujuan membatasi pemanasan yang disebabkan oleh perubahan iklim. “Dalam menghadapi bahaya yang jelas dan hadir di depan mata, kita membutuhkan respons kebijakan yang benar-benar bisa menghadapi tantangan itu,” katanya. 

Para perunding di bawah naungan PBB berharap tahun 2015 akan bisa mengembangkan sebuah perjanjian iklim global baru yang akan mulai berlaku pada tahun 2020.

Badan dunia itu secara simultan berusaha menemukan solusi jangka pandek sebelum tahun 2020,  untuk memperkecil kesenjangan yang tumbuh antara target emisi karbon yang disepakati dan pemanasan yang sebetulnya dibutuhkan untuk mencegah pemanasan global. 

PBB menargetkan, peningkatan suhu maksimal 2 derajat celcius di atas tingkat pra industri, yang bagi para ilmuwan dipercaya sebagai tingkat perubahan iklim yang masih bisa ditangani. 

Panel Antar Negara Tentang Perubahan Iklim  (IPCC), yang memberi masukan kepada para pengambil kebijakan, telah mengatakan bahwa jumlah CO2 di atmosfer harus dibatasi hingga 400 ppm agar temperatur bumi hanya naik 2 sampai 2,4 derajat Celcius. 

Namun, Jumat pekan lalu, pusat pemantauan National Oceanic and Atmospheric Administration di Mauna Loa, Hawaii, mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa rata-rata jumlah CO2 di atas Samudera Pasifik berada pada tingkat 400,33 ppm. 

Sebuah pusat pemantauan di Scripps Institution of Oceanography di San Diego, California, mencatat jumlah CO2 adalah 400,08 ppm. 

“Kita masih punya kesempatan untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim, tapi ini akan membutuhkan langkah respons yang sangat besar,” kata Figueres. 

0 comments:

Post a Comment