Penulis : Bilal M. Zain :
seorang nomaden yang melakukan pengembaraan demi tegaknya kebenaran dan keadilan
Gerakan pemberantasan korupsi merupakan kesadaran bersama anak bangsa, khususnya lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut harus bersinergi melakukan pemberantasan korupsi, tidak saling sikut dan menegasikan satu sama lain. Pemberantasan korupsi harus betul-betul murni penegakan hukum, tidak tebang pilih atau pilih tebang, tidak ada target dan motif tersembunyi, apalagi karena tekanan politik.
Bila kita melihat gerakan pemberantasan korupsi sejak pertama kali KPK lahir hingga dewasa ini, gerakan ini tidaklah berjalan mulus, berbagai upaya pelemahan dan penggembosan terhadap KPK beberapa kali terjadi. Ingatkah kita bagaimana proses hukum terhadap Antasari yang berujung di penjara. Ingatkah kita kasus Cicak vs Buaya, dimana kepolisian melakukan kriminalisasi terhadap Komisioner KPK. Ingatkah kita Novel Baswedan, penyidik KPK dari Kepolisian yang didiskriminalisasi oleh korps nya sendiri, semata-mata karena kepolisian tidak rela anggotanya yang dituduh korupsi (Djoko Susilo) diproses oleh KPK. Dan ingatkah kita bagaimana sebagian anggota DPR berusaha keras ingin mempereteli kewenangan KPK, hanya karena mungkin takut diusut dan telah banyak koleganya sesama anggota yang tersangkut korupsi.
Realitas yang demikian adalah bentuk nyata pelemahan dan penggembosan gerakan pemberantasan korupsi. Selain itu, ada skenario atau modus baru yang dilakukan aparat penegak hukum dalam hal ini oknum Kejaksaan dalam rangka pelemahan dan penggembosan pemberantasan korupsi dalam bentuk pembalikan opini. Membuat opini sesat yang seakan-akan melakukan pemberantasan korupsi tetapi sebenarnya untuk pengembosan dan pelemahan dengan berbagai motif.
Ada kecenderungan Kejaksaan berlomba dengan KPK untuk mengungkap kasus-kasus korupsi besar. Yang demikian itu tentu tidaklah salah bahkan sudah keharusan bagi lembaga penegak hukum untuk memaksimalkan kerja. Namun yang salah jika oknum Kejagung bekerja secara tidak profesional, serampangan. Mempersangkakan terjadinya praktek korupsi terhadap orang atau perusahaan, padahal sesungguhnya tidak ada korupsi. Fenomena yang demikian dapat kita lihat pada kasus Merpati, Chevron, dan IM2-Indosat.
Adalah Hotasi Haposan mantan Dirut Merpati didakwa oleh Kejaksaan telah melakukan korupsi pada penyewaan dua pesawat Boeing merpati pada tahun 2006. Dakwaan Jaksa terlihat dipaksakan. Kasus ini seharusnya perdata, Jaksa mengubah dan memaksakan kasus ini menjadi pidana. Menurut Juniver Girsang, pengacara Haposan, kasus ini sesungguhnya tidak layak diteruskan, sebab penyewaan dua unit Boeing oleh Merpati sudah pernah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan pada April 2007, Badan Reserse Kriminal pada September 2007, dan bagian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus serta JAM Intelijen Kejaksaan Agung. Keempatnya kompak menyebutkan tidak ada tindak pidana dalam penyewaan dua pesawat jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500. Komisi Pemberantasan Korupsi juga sepakat menyebut kasus Merpati bukan tindak pidana. Sikap KPK disampaikan dalam surat bernomor R-3898/40-43/10/2009 pada 27 Oktober lalu. Surat itu menyatakan kasus perjanjian sewa pesawat dan penyerahan security deposit oleh MNA tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pada kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Kejaksaan bekerja secara tidak profesional dengan menetapkan tersangka dan melakukan penahanan tanpa cukup bukti terhadap empat pegawai Chevron. Keempatnya kemudian dibebaskan setelah pengadilan menyatakan bahwa penahanan tersebut tidak sah.
Menurut Maqdir Ismail, pengacara CPI, penetapan tersangka tidak dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penyelidikan pun tidak dilakukan berdasarkan fakta yang akurat sesuai tugas pokok dan keseharian masing-masing tersangka. Contohnya, dalam penetapan tersangka Endah Rumbiyanti.
Penetapan tersangka dilakukan setelah Endah secara sukarela memberikan penjelasan mengenai bioremediasi kepada penyelidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Sebagai orang yang pernah belajar mengenai teori bioremediasi, Endah bersedia memberikan penjelasan kepada penyelidik.
Ternyata berita acara wawancara yang ditandatangani Endah itu, menurut Maqdir malah dipergunakan sebagai keterangan saksi. Tidak lama setelah memberikan penjelasan, Endah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 63 hari. Padahal, Endah sama sekali tidak ada kaitannya dengan bioremediasi yang diduga fiktif ini.
Selain itu, kejanggalan lainnya adalah penggunaan keterangan ahli bernama Edison Efendi. Maqdir menyatakan, Edison adalah wakil dari perusahaan yang beberapa kali gagal mengikuti tender CPI. Penggunaan Edison sebagai ahli mengandung konflik kepentingan, sehingga penyidikan tidak obyektif dan rentan direkayasa.
Pada kasus IM2-Indosat, Kejaksaan menetapkan tersangka terhadap Indar Atmanto (mantan Dirut IM2) dan Jhonny Swandy Sjam (mantan Dirut Indosat). Selain itu Kejaksaan juga menetapkan korporasi (IM2 dan Indosat) sebagai tersangka. Dakwaan Jaksa adalah melakukan kerjasama layanan jasa jaringan secara ilegal tanpa izin pemerintah, dan karenanya merugikan negara 1,3 triliun. Dakwaan Jaksa bersumber dari laporan Denny AK, Ketua LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia, yang dikenal dilingkungan industri telekomunikasi sebagai preman teleomunikasi karena acapkali melakukan pemerasan.
Kejaksaan memaksakan kasus ini berlanjut, padahal jelas laporan berasal dari Ketua LSM yang tidak jelas dan pemeras, bahkan kini mendekam di penjara. Menkoimfo sudah menjelaskan dan mengklarifikasi bahwa kerjasama IM2-Indosat sudah sesuai dengan UU Telekomunikasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Berbagai organisasi dan asosiasi telekomunikasi, serta pendapat para ahli, semuanya menyatakan tidak ada pelanggaran dalam kerjasama tersebut.
Tiga contoh kasus yang ditangani Kejaksaan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi abuse of power di lingkungan Kejaksaan. Kejaksaan bekerja tidak murni penegakkan hukum. Patut diduga ada target lain dan memainkan politik pencitraan demi kepentingan pribadi berupa uang dan atau jabatan (kita tahu, jelang 2014 perlu uang banyak dan pengisian kursi jabatan)
Kejaksaan ingin mencitrakan diri ke publik bahwa bukan hanya KPK yang bisa mengungkap kasus-kasus korupsi besar, bukan hanya KPK yang bisa mengembalikan kerugian dalam jumlah besar, kita Jaksa juga bisa melakukan hal itu. Di susunlah skenario dengan menyisir kira-kira kasus mana yang bernilai besar dan bisa dimainkan. Diketemukanlah kasus sebagaimana tiga contoh yang telah diuraikan diatas.
Oknum Jaksa sebenarnya sadar dan tahu bahwa kasus yang digodok tersebut lemah secara yuridis dan akan mentah di pengadilan. Namun karena ini target dan skenario pencitraan diri, kasus ini terus digoreng agar tetap eksis di media massa dan menaikkan popularitas oknum Jaksa dan citra Kejaksaan sebagai lembaga hukum yang bisa dan berani mengungkap kasus korupsi besar.
Dan bila kemudian pengadilan menolak dakwaan Jaksa atau memenangkan para tersangka yang dituduh korupsi, Jaksa dengan enteng mengatakan bahwa kami sudah bersusah payah ingin membongkar korupsi, ingin mengembalikan uang negara, namun apa daya, kami kalah dipengadilan dan hakim sepertinya bersekongkol dengan terdakwa agar bisa lepas dari jeratan hukum. Kira-kira begitulah bahasanya.
Opini sesat itu yang ingin ditancapkan kebenak publik bahwa Kejaksaan itu hebat dalam hal pemberantasan korupsi. Padahal apa yang dilakukan tak lebih dari sebuah tindakan tak bermoral.
Lebih parah lagi, jika target tersembunyi dan politik menaikkan citra diri oknum Jaksa bertemu dan mendapat boncengan kepentingan politik dari luar, maka sempurna sudah apa yang disebut dengan Machiavellian Conspirator, sebuah praktek konspirasi yang menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai.
Pada kasus IM2-Indosat misalnya, sejumlah anggota Komisi I DPR RI menduga ada tekanan politik yang sangat kuat dalam kasus ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDPU) Komisi I DPR RI dengan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL),Tantowi Yahya dari Fraksi Golkar menilai kasus ini merupakan bentuk penzaliman terhadap industri telekomunikasi. Terus bergulirnya kasus ini, katanya, sudah tidak murni lagi. Ada tekanan yang sangat kuat, khususnya tekanan politik. Apa yang dilakukan oleh Kejagung merupakan bentuk penzaliman terhadap suatu usaha yang bersifat pelayanan publik. Dia menegaskan, kasus IM2 merupakan bentuk kriminalisasi penegak hukum di industri telekomunikasi, khususnya Internet. kriminalisasi adalah bentuk dari sebuah kejahatan, dan ini harus kita lawan.
Senada dengan Tantowi, Tjahjo Kumolo dari Fraksi PDIP, melihat ada kepentingan besar dibalik kasus IM2-Indosat. Karena itu, ia mengusulkan kepada Pimpinan Komisi I DPR agar meminta bantuan Badan Intelelijen Negara (BIN) untuk mengusut tuntas siapa dalang dibalik kasus IM2-Indosat.
Praktek konspirasi yang demikian akan merusak institusi hukum dan tatanan hukum serta menodai gerakan pemberantasan korupsi yang sebenarnya. Praktek yang demikian harus dilawan, tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi preseden buruk, bisa-bisa kasus serupa akan terulang kembali. Penegak hukum akan mencari-cari kesalahan orang dan atau perusahaan yang sebenarnya tidak bermasalah.
Kedepan, kita semua mengharapakan agar Kejaksaan fokus membersihkan “sampah pada kolam air yang mencemari lingkungan “. Bukan malah dengan sengaja “membuat keruh kolam air jernih dengan membuang sampah kedalamnya”, sebagaimana yang tejadi pada kasus tersebut diatas.
0 comments:
Post a Comment