Jajak pendapat adalah survei mengenai pendapat atau pandangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel. Jajak pendapat biasanya dirancang untuk mendapatkan gambaran tentang pandangan-pandangan suatu populasi dengan mengajukan serangkaian pertanyyaan kepada beberapa orang yang dianggap mewakili populasi dan kemudian menyimpulkan jawaban-jawabannya sebagai gambaran dari kelompok yang lebih luas.
Sejarah jajak pendapat
Contoh jajak pendapat pertama yang dketahui adalah sebuah pengumpulan pendapat setempat oleh The Harrisburg Pennsylvanian pada 1824, yang menunjukkan bahwa Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams dengan 335 banding 169 suara dalam perebutan jaatan Presiden Amerika Serikat. Pengumpulan pendapat seperti itu—yang tidak bersifat ilmiah— pelan-pelan menjadi makin populer; namun sifatnya tetap lokal dan biasanya hanya meliputi satu kota saja. Pada 1916, Literary Digest melakukan survai nasional (sebagian untuk meningkatkan sirkulasi) dan secara tepat meramalkan terpilihnya Woodrow Wilson sebagai Presiden. Dengan semata-mata mengirimkan jutaan kartu pos dan menghitung kartu yang kembali, Digest dengan tepat meramalkan keempat pemilihan presiden berikutnya.
Namun pada 1936 Digest gagal. Para "pemilih"-nya yang berjumlah 2,3 juta orang merupakan sampel yang banyak. namun, mereka umumnya adalah orang Amerika yang aya, yang cenderung simpatisan Republikan Literary Digest tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki bias ini. Seminggu sebelum hari pemilihan, Digest melaporkan bahwa Alf Landon jauh lebih populer daripada Franklin D. Roosevelt. Pada saat yang sama, George Gallup melakukan survai yang jauh lebih kecil, namun lebih ilmiah. Dalam jajak pendapat ini ia menggunakan sampel yang secara demografis lebih mewakili. Gallup dengan tepat meramalkan kemenangan besar Roosevelt. Tak lama kemudian Literary Digest bangkrut, sementara industri jajak pendapat mulai berkembang pesat.
Semua jaringan televisi, sendirian ataupun bersama-sama dengan surat kabar atau majalah-majalha terbesar, praktis di setiap negara yang menyelenggarakan pemilihan umum, melakukan jajak pendapat, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok.
Beberapa organisasi memonitor perilaku para pemilih dan penggunaan data jajak pendapat, termasuk PEW dan, di Kanada, Laurier Institute for the Study of Public Opinion and Policy. Kegagalan dalam jajak pendapat yang paling terkenal hingga sekarang di AS adalah ramalan bahwa Thomas Dewey akan mengalahkan Harry S. Truman dalam pemilihan umum presiden AS, 1948. Organisasi-organisasi jajak pendapat, termasuk Gallup dan Roper, menunjukkan kemenangan besar untuk Dewey.
Di Britania Raya, kebanyakan jajak pendapat gagal meramalkan kemenangan Konservatif dalam pemilihan umum 1970 dan 1992, dan kemenangan Buruh pada 1974. Namun, angka-angka mereka dalam pemilihan-pemilihan lain umumnya akurat.
Pengaruh jajak pendapat
Dengan memberikan informasi mengenai niat pemilih, jajak pendapat kadang-kadang dapat memengaruhi perilaku para pemilih. Berbagai teori tentang bagaimana hal ini terjadi dapat dibagi menjadi dua kelompok: pengaruh ikut-ikutan/underdog, dan pemberian suara strategis ('taktis').
Pengaruh ikut-ikutan terjadi apabila jajak pendapat mendorong para pemilih untuk mendukung kandidat yang diramalkan menang dalam jajak pendapat. Pendapat bahwa para pemilih mencurigai pengaruh ini sudah lama terjadi. Safire (1993: 43) melaporkan bahwa hal ini pertama kali digunakan dalam sebuah kartun politik dalam majalah Puck tahun itu. Hal ini juga terus-menerus muncul meskipun tidak ada pembuktian empiris hingga akhir abad ke-20. George Gallup bberusaha keras, namun sia-sia, dalam mencoba mendiskreditkan teori ini pada masanya dengan menyajikan riset empiris. Sebuah studi-meta baru-baru ini mengenai riset ilmiah tentang topik ini menunjukkan bahwa dari 1980-an hingga sekarang pengaruh ikut-ikutan ini lebih sering ditemukan oleh para peneliti (Irwin & van Holsteyn 2000).
Dampak kebalikan dari pengaruh ikut-ikutan ini adalah dampak underdog. Ini sering disebutkan dalam media. Ini terjadi ketika orang memberikan suaranya, karena bersimpati, kepada partai yang dianggap akan 'kalah' dalam pemilihan umum. Keberadaan dampak ini kurang mendapatkan dukungan bukti empiris daripada dampak ikut-ikutan (Irwin & van Holsteyn 2000).
Kategori kedua dari teori tentang bagaimana jajak pendapat secara langsung memengaruhi pemberian suara disebut sebagai pemberian suara strategis atau taktis. Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa para pemberi suara menganggap pemberian suara sebagai cara untuk memilih suatu pemerintahan. Jadi, mereka kadang-kadang tidak memilih kandidat yang mereka sukai berdasarkan ideologi atau simpati, melainkan kandidat lain yang kurang disukai, karena pertimbangan-pertimbangan strategis. Contohnya dapat ditemukan dalam pemilihan umum Britania Raya, 1997. Konstituensi Menteri Michael Portillo di Enfield dipercayai sebagai kursi yang aman tetapi berbagai jajak pendapat memperlihatkan bahwa kandidat Buruh Stephen Twigg terus memperoleh dukungan, yang mungkin telah mendorong para pemilih atau pendukung dari partai-partai lain yang belum menetapkan pilihannya untuk mendukung Twigg demi menyingkirkan Portillo. Sebuah contoh lainnya adalah dampak Bumerang di mana para calon pendukung dari kandidat yang diramalkan menang merasa bahwa ia sudah pasti akan menang, sehingga suara mereka tidak dibutuhkan, dan dengan demikian membiarkan kandidat lainnya menang.
Dampak-dampak ini hanya menunjukkan bagaimana jajak pendapat secara langsung memengaruhi pilihan-pilihan politis dari para pemilih. Dampak yang lainnya dapat ditemukan di kalangan para wartawan, politikus, partai politik, pegawai negeri, dll., antara lain dalam bentuk Framing (teori komunikasi) media dan pergeseran ideologi partai.
0 comments:
Post a Comment