Home » , , » Khilafah Tetap Dalam Kerangka NKRI

Khilafah Tetap Dalam Kerangka NKRI

''Tegaknya kekhalifahan bermaksud untuk mengganti sistem pemerintahan yang buruk, dan akan mencegah separatisme, sehingga tidak mungkin mengancam,''

Ketua Umum PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah Prof Dr M Din Syamsuddin MA menegaskan bahwa ide untuk mewujudkan khilafah tetap dalam kerangka negara bangsa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Demikian dikatakan Din Syamsuddin menjawab MADINA, sehubungan ramainya kembali pembicaraan seputar masalah kekhilafahan atau khilafah dalam ajaran Islam. Pembicaraan lebih mencuat ketika berlangsung Konferensi Kekhilafahan Internasional di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Minggu lalu (12/8).

Menurut Din sikapnya itu juga dia kemukakan saat ikut hadir dalam konferensi yang digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ”Khilafah adalah ajaran Islam yang baik dan ada disebutkan dalam Al Qur`an, bahkan dalam nada bahwa setiap manusia adalah khalifah Allah di muka bumi,” ucapnya.

Namun, lanjut Din, jika khilafah ditarik kepada kelembagaan politik keagamaan maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim dari dulu hingga dewasa ini. ”Soal khilafat historis yang pernah ada dalam sejarah Islam, umpamanya, Ibnu Khaldun sudah mengkritiknya sebagai bukan lembaga kepemimpinan politik yang bersifat keislamannya karena sesungguhnya khilafah waktu itu adalah kerajaan,” kata Din yang juga dosen Pascasarja Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Oleh karena itu, Din menilai, gagasan untuk menegakkan khilafah sekarang ini mempunyai makna esensial perlunya persatuan umat Islam. ”Penegakan khilafah harus tetap dalam kerangka NKRI. Khilafah seperti itu menolak separatisme pada satu sisi dan universalisme pada sisi lain,” tutur Din yang juga adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini.

Din menambahkan, sebagai manifestasi persatuan umat Islam khilafah tidak boleh mengurangi inklusifisme dan pluralisme bangsa. Semua organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah maupun NU, lanjutnya, tidak keberatan dengan ide pluralitas karena ajaran Islam memang mengakuinya. 

Din mengingatkan umat Islam agar dapat memahami bahwa khilafah merupakan ajaran Islam. Meski, ada perbedaan pendapat dalam hal format dan cara membentuknya, bukan esensinya. ''Khilafah adalah ajaran yang baik dan mulia. Tapi saya lebih pahami secara esensial bahwa khilafah adalah ajaran persatuan umat Islam,'' ujarnya lagi.

Din berharap kepada semua pihak untuk tidak perlu khawatir dengan wacana khilafah sebagai bagian dari proses demokrasi dan pluralisme. ”Justru sikap menolak dan mengecam wacana yang hidup di kalangan bangsa bisa bersifat anti demokrasi dan pluralisme,” demikian kata Din.

Sikap MUI

Senada dengan Prof Din Syamsuddin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat KH Makruf Amin mengatakan, MUI secara resmi kelembagaan tidak ikut dalam Konferensi Kekhilafahan Internasional di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Minggu lalu itu. Namun terhadap anggota pengurus MUI, boleh saja secara pribadi menghadiri acara tersebut.

Dia sendiri, kata Makruf Amin, juga diundang hadir dan bahkan diminta ikut sebagai pembicara, hanya dia tidak bisa datang. ”Sikap saya dan MUI sudah jelas, bicara khilafah tidak bisa kita lepaskan dalam bingkai kerangka NKRI dan itu persoalannya sudah final,” kata Makruf, ketika menghadiri rapat Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) serta Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI di Masjid Istiqlal Jakarta, belum lama ini.

Ramainya kembali pembicaraan seputar masalah khilafah, dinilai Amin hanyalah sebagai wacana dan nostalgia semata di kalangan umat. Dulu, ketika ramai bicara tentang asas Pancasila, bahkan ketika awal republik ini berdiri soal itu juga jadi perbincangan. ”Jadi itu bukan hal baru. Membincangkan kembali, apalagi dalam konteks internasional, sebatas ukhuwah umat Islam bagus-bagus saja,” ucap salah seorang penasehat Presiden SBY ini. 

Namun, lanjut Makruf, kalau mempersatukan umat dalam konteks khilafah kenegaraan, apalagi dunia, hal itu apa tidak membuang energi dan makin menimbulkan kebingungan umat saja. ”Untuk mempersatukan umat dalam kehidupan partai politik di dalam negeri saja, kita susahnya bukan main. Nah sekarang mau tingkat dunia pula. Tapi, sekali lagi itu terserah saja mau bicara soal itu, terpenting kita tetap dalam bingkai NKRI,” ujarnya.       

Salah Paham    

Sementara itu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan kekhilafahan merupakan kenyataan sejarah yang melindungi pluralitas. ”Selama ini banyak pihak yang salah memahami konsep khilafah dengan menuduh kekhilafahan Islam antipluralitas,” kata juru bicara Hizbut Tahrir (HT) Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, dalam Konferensi Kekhilafahan Internasional tersebut.

HT mengakui pluralitas yang diindikasikan dari beragam kerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia. ''HT tak memiliki hambatan apa pun untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak, seperti partai Islam lainnya,'' kata Ismail.

Ismail juga menegaskan bahwa HT tidak akan menempuh metode kekerasan untuk mencapai tujuannya, yakni tegaknya syariah dan kekhilafahan Islam. Acara Konferensi Kekhilafahan Internasional itu, tegas Ismail, tak dimaksudkan untuk mendeklarasikan berdirinya sebuah kekhilafahan atau partai politik baru. Acara itu lebih bersifat sebagai nasihat keagamaan dalam memberikan pendidikan kepada umat.

HT juga menolak keras munculnya gerakan separatisme di dunia Islam. ''Tegaknya kekhalifahan bermaksud untuk mengganti sistem pemerintahan yang buruk, dan akan mencegah separatisme, sehingga tidak mungkin mengancam,'' ujarnya

Presiden Asosiasi Muslim Jepang, Hassan Ko Nakata, juga mengatakan, tak ada pemaksaan dalam sistem khilafah. Sistem pemerintahan Islam tegak dengan tetap memberikan otonomi untuk hidup mandiri bagi yang non-Islam.Negeri Islam juga terbuka bagi siapa saja. ''Sistem khilafah tak murni keagamaan, tapi sangat membumi atau bersifat keduniaan. Inilah yang menjadi alasan kenapa sistem ini dapat diterima di semua kalangan, bahkan non-Muslim sekalipun,'' tutur Nakata yang juga Guru Besar Teologi Universitas Doshisha, Kyoto, itu.

0 comments:

Post a Comment