Assalamu’alaikum wr,wb.
Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah mengganggu aktivitas ustadz.
oiya… saya mau bertannya nih tentang politik dipandang dari agama Islam.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Pemilu sudah kita
laksanakan, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Pilpres. Ketika
kampanye berlangsung, banyak sekali para calon yang menguraikan
janji-janjinya demi tercapainya suatu maksud tertentu. Tetapi, seperti
yang sudah-sudah, banyak sekali calon yang jadi/ menduduki kursi
tersebut seolah-olah ataupun dengan sengaja melupakan janji-janjinya
tersebut.
Menurut ustadz, apa sih hukumnya menurut Islam jika orang-orang
tersebut tidak memenuhi janjinya?. Apakah di dalam Islam juga dianjurkan
kita untuk berpolitik?,kalau iya, bagaimana caranya berpolitik yang
baik menurut Islam?.
Saya mohon penjelasan dari ustadz atas pertanyaan tersebut. Terima kasih…
Wassalamu’alaikum wr,wb.
Janji Para Caleg
Cara klasik yang hingga saat ini masih dianggap ampuh dalam menarik
dukungan rakyat baik pada pileg maupun pilpres adalah dengan mengumbar
janji-janji manis yang seringkali tidak menjejak ke bumi.
Tentunya janji-janji yang sebagian besar berupa ucapan-ucapan membuai
atau iming-iming yang melenakan bukanlah sebatas janji antara para
kandidat itu dengan rakyat akan tetapi juga antara mereka dngan Allah
swt.
Janji didalam bahasa arab bisa berarti ‘ahd atau wa’d. Diantara para
ulama ada yang menyamakan antara ‘ahd dengan wa’d, ada yang mengatakan
bahwa keduanya berbeda, mereka mengkhususkan ‘ahd adalah janji terhadap
apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah swt sedangkan wa’d adalah
selainnya.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ‘ahd adalah wa’d yang disertai
dengan persyaratan, seperti : “jika kamu melakukan ini maka aku akan
melakukan itu”
Islam mengharuskan seseorang yang berjanji untuk berpegang teguh dengannya dan tidak mengingkarinya baik janjinya kepada Allah swt maupun kepada manusia, sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji.” (QS. An Nahl)
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Artinya : “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al mukminun : 8)
Al Baghowi mengatakan bahwa makna dari “mereka memelihara
janji-janjinya” adalah memelihara apa-apa yang diamanahkan kepada mereka
serta menunaikan janji-janji yang diutarakannya kepada manusia.”
(Tafsir al Baghowi juz V hal 410)
Sementara itu Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa amanah adalah apa
yang diamanahkan kepada mereka sedangkan janji (‘ahd) adalah apa yang
telah dijanjikan antara dririnya dengan Allah swt atau antara sesama
manusia. Dan didalam ayat ini digabungkan antara janji dan amanah,
keduanya adalah beban yang dipikul manusia baik urusan-urusan agama
maupun dunia. Amanah lebih umum daripada janji, setiap janji adalah
amanah. (Fathul Qodir juz III hal 679)
Sedangkan pelanggaran janji ini bisa disebut dengan ikhlaf
(pengingkaran) atau kadzib (dusta). Ikhlaf berarti ‘admul wafaa bil
‘ahdi (tidak memenuhi janji). Sedangkan kadzib, diantara fuqaha ada yang
menyamakannya dengan ikhlaf namun dari mereka ada yang memisahkan
diantara keduanya, yaitu kadzib (dusta) adalah terhadap sesuatu yang
berkaitan dengan masa lalu dan saat ini sedangkan ikhlaful wa’d
(mengingkari janji) adalah untuk sesuatu yang berkaitan dengan masa
datang.
Adapun hukum dari menyalahi ‘ahd atau wa’d menurut mereka yang
membedakan antara keduanya—‘ahd adalah terhadap apa yang diwajibkan atau
diharamkan Allah sedangkan wa’d adalah selainnya—maka menyalahi ‘ahd
adalah haram sedangkan hukum menyalahi wa’d maka Imam Nawawi mengatakan
bahwa para ulama telah berspakat apabila seseorang telah berjanji (wa’d)
tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka seharusnya dia menepati
janjinya itu. Namun apakah ini wajib atau sunnah ? maka terdapat
perbedaan ulama :
Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur mengatakan bahwa hal itu adalah
sunnah, apabila orang itu mengingkarinya maka ia telah kehilangan
keutamaan dan termasuk perbuatan yang makruh sekali akan tetapi orang
itu tidak berdosa.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa penunaian wa’d adalah
wajib, Imam Abu Bakar bin ala Arobi al Maliki mengatakan bahwa orang
yang paling terkenal berpendapat seperti ini adalah Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah, namun barangsiapa yang berjanji sementara itu dia
berniat untuk mengingkarinya maka sudah dipastikan bahwa orang itu
berdosa dan didalam dirinya terdapat cabang dari kemunafikan, sabda
Rasulullah saw,”Tanda-tanda kemunafikan adalah tiga : jika berbicara
maka dia berbohong, jika berjanji dia ingkari dan jika dia diberi amanah
maka dia khianat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 715)
Politik Dalam Islam
Tentunya sebagai agama yang mencakup semua aspek kehidupan, islam
tidaklah melupakan atau meninggalkan permasalahan politik, yang dikenal
dengan istilah “siyasah”.
Jika dikatakan saasal waliy ar ro’iyah berarti pemimpin itu
memerintahkan, melarang dan mengendalikan rakyatnya. Karena itu menurut
terminologi bahasa siyasah menunjukkan arti mengatur, memperbaiki dan
mendidik.
Sedangkan menurut etimologi, siyasah (politik) memiliki makna yang
berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Disebutkan bahwa ia adalah upaya
memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di
kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka. Al
Bujairumiy mengatakan bahwa politik adalah memperbaiki urusan-urusan
rakyat dan mengatur perkara-perkara mereka.
Politik dengan makna seperti ini merupakan dasar hukum, karena itu
tindakan-tindakan para penguasa negara yang terkait dengan kekuasaan
disebut dengan politik. . Ilmu politik adalah ilmu yang mengetahui
tentang macam-macam kekuasaan, perpolitikan sosial dan sipil,
keadaan-keadaannya : seperti keadaan para penguasa, raja-raja, pemimpin,
hakim, ulama, ekonom, penanggung jawab baitul mal dan yang lainnya. (al
Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 8963)
Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa islam bukanlah melulu
aqidah teologis atau syiar-syiar peribadatan, ia bukan semata-mata agama
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak
bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata
kemasyarakatan dan negara.
Tidak, tidak demikian…islam adalah akidah dan ibadah, akhlak dan
syariat yang lengkap. Dengan kata lain, islam merupakan tatanan yang
sempurna bagi kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan,
prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.
Bahkan bagian ibadah dalam fiqih itu pun tidak lepas dari politik…
Islam memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum dan pengarahan-pengarahan
dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan,
politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik
peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka
tidak bisa diterima kalau islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi
pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali
menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani. (Fatwa-fatwa
Kontemporer jlid 2 hal 897 – 898)
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Abul Wafa’ ibnu ‘Aqil al Hambali
bahwa politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya
seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan,
selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara’.
Ibnul Qoyyim juga mengatakan bahwa sesungguhnya politik yang adil
tidak bertentangan dengan syara’ bahkan sesuai dengan ajarannya dan
merupakan bagian darinya. Dalam hal ini kami menyebutnya dengan politik
(siyasah) karena mengikuti istilah mereka. Padahal, sebenarnya dia
adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. (at Thuruq al Hukmiyah hal 17 – 19)
Islam adalah agama yang mengikat segala sesuatunya dengan aturan
agama, begitupula didalam urusan politik ini. Islam tidak mengenal
adanya penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, meskipun tujuan
itu mulia. Islam tidak hanya melihat hasil tetapi juga proses untuk
mendapatkan hasil.
Oleh karena itu didalam berpolitik pun seorang politisi maupun
pemimpin islam diharuskan berpegang dengan rambu-rambu syariah dan
akhlak mulia. Dengan kata lain bahwa segala cara berpolitik yang
bertentangan dengan syariah atau melanggar norma-norma agama dan akhlak
islam maka ia dilarang.
Wallahu A’lam
0 comments:
Post a Comment